Enter your keyword

“Place Making: Vernakular hingga Millenials” oleh Himasari Hanan

“Place Making: Vernakular hingga Millenials” oleh Himasari Hanan

“Place Making: Vernakular hingga Millenials” oleh Himasari Hanan

TRANSKRIPSI PEMAPARAN

Latar belakang penelitian ini adalah studi tentang ruang dari perpektif humanistik. Saya menggaris bawahi bagaimana memahami ruang dari sisi manusia sehingga didapatkan secara komprehensif. Sejauh ini, kajian ruang lebih melihat aspek fisik sehingga bersifat abstrak. Kekurangannya adalah minimnya pemahaman tentang ruang dan makna ruang, di mana keterkaitan manusia dengan ruang tidak bisa dipisahkan. Ruang tidak bermakna jika tidak ada manusia di dalamnya, bagaimana gagasan dan perasaan manusia ada di dalamnya. Jika tadi bicara fisik, dimensi, dan ekspresi ruang (sebagai contoh: menakutkan), kajian ini berusaha menggali bagaimana ruang itu. Kajian dilakukan berdasarkan tulisan Yi-Fu Tuan 1977, yakni perbedaan space dan place.

Pemahaman ruang seringkali melibatkan kegiatan di dalamnya dan imajinasi spasial. Pengalaman tentang ruang mengisyaratkan interaksi manusia dengan ruang. Jika bicara tentang ruang maka bagaimana interaksi manusia dengan ruang. Ruang dipahami tidak secara objektif (ukuran), tetapi juga secara subyektif (makna sosial ataupun merepresenasikan apa?).

Place tidak ditentukan oleh batasan fisik tetapi selalu melibatkan lokasi dan kondisi sosial. Pengalaman manusia dan pengalaman sosial lah yang membedakan space dan place karena kondisi sosial yang berbeda, bukan kondisi spasialnya. Place memiliki spirit (nyawa) sehingga menjadikannya unik. Kalau berbicara placeada yang unik karena ada nyawa, impresi, pesona, ataupun sesuatu yang menggugah perasaan. Ruang menjadi place tergantung dari nyawa yang hadir di dalamnya. Hal tersebut (nyawa) yang akan dikaji dan macamnya banyak tergantung pada lokasi.

Pemahaman tentang Place menggunakan teori dari Henri L. Place adalah kontruksi sosial yang dibuat oleh masyarakat. Place bisa berubah-ubah (tidak sama). Saya juga mengambil place-making dari Heidegger, yaitu membina hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan fisik (supaya eksis atau eksistensi); bagaimana manusia melakukan eksistensi dan menjadi hadir di dunia ini. Dunia di sekitar manusia tidak bisa eksis jika tidak ada manusia yang mendiami. Place terjadi karena interaksi manusia; bagaimana menghargai manusia dengan alam dapat menciptakan sebuah place. Place terjadi jika ada hubungan timbal balik/interaksi.

Lingkungan fisik akan hadir dan bermakna jika manusia mengalaminya. Place tidak terjadi jika tidak mengalami. Makna dari lingkungan bergantung dari konteks politik dan ekonomi dimana manusia berkegiatan. Berbicara place tidak bisa dilepaskan dari politik dan ekonomi.

Tujuan

Bagaimana perubahan space menjadi place; ruang yang secara fisik nyata dan kelihatan, bagaimana akhirnya hubungan dengan manusia?

Kasus Bali Aga

Bali Aga adalah masyarakat asli Bali yang tidak terpengaruh aristokratik. Mereka tidak dipengaruhi oleh sistem kekuasaan. Masyarakat Bali Aga tinggal di gunung dan biasa disebut Bali Gunung. Bali Aga tidak mengenal kasta, hidup sederhana, dan tidak memiliki raja.

Orang Bali Aga membagi ruang menjadi 3 tempat:

  1. Parahyangan: pura
  2. Pawongan: tempat tinggal manusia
  3. Palemahan: kuburan (terletak di selatan)

Terdapat tiga macam pura:

  1. Pura Panti: pemujaan Sang Hyang Widi
  2. Pura Penangkaran Agung: pura desa
  3. Pura Dalem: Dewa Kematian

Ruang diperuntukkan oleh tokoh-tokoh yang berbeda. Ruang tidak dibagi secara tegas, tetapi orang-orang Bali tahu bagaimana pembagiannya. Makna tempat yang sudah ada tersebut tidak bisa dicampur-adukkan.

Masyarakat Desa Pengotan terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu Desa Gelagah dan Desa Kedawam. Mereka menempatkan tempat ibadah berdasarkan kelompok masyarakatnya. Mereka tidak mengenal tempat sembahyang, tetapi lebih berdasarkan konteks sosial/kelompok. Begitu masuk ke dalam skala kampung/desa/hunian, mereka kembali ke pembagian ruang itu tadi.

Pendefinisian sebagai tempat dilakukan hingga berbagai level. Bagaimana konsep tempat (pembagian 3 tempat) selalu ada dan juga diterapkan di rumah. Pembagian tersebut terjadi hingga pada skala terkecil. Pemahaman tentang tempat diterapkan pada ruang dalam, juga pada peletakan peralatan.

Space yang sama bisa berperan sebagai place yang berbeda. Ruang yang luas dan multifungsi akan berubah sesuai dengan kegiatan manusia yang diwadahi saat itu. Ketika upacara, ruang akan digunakan sebagai area sirkulasi. Waktu yang lain ruang tersebut dapat berfungsi sebagai ruang ibadah. Tempat selanjutnya dikonstruksikan sesuai dengan waktu/penggunaannya. Ketika tidak ada kegiatan, ruang juga tidak menjadi bermakna.

Pembentukan place dapat disusun dari unsur yang berbeda-beda (posisi), selama konsep tentang tempat hadir/ada. Berbagai media dipergunakan untuk memperjelas place, seperti dekorasi, sesembahan, warna, kesenian. Sebagai contoh, begitu ada sesajen, tempat ini akan berubah menjadi tempat yang suci. Sesajen menjadi penanda perubahan ruang. Penggunaan pakaian berwarna putih oleh pada tokoh-tokoh otomatis menunjukkan tempat tersebut adalah tempat suci. Ruang yang suci dapat diperjelas dengan menempatkan dekorasi. Kesempatan lain, ruang tersebut juga bisa dipakai untuk ruang kesenian. Objek suci bermacam-macam. Daerah suci dan tidak suci terbentuk meskipun bukan tempat suci.

Place memiliki ragam besar, skala, dan bentuk yang berbeda-beda. Place masyarakat vernakular berkaitan dengan objek kesucian. Nilai kesucian menciptakan sebuah tempat. Pendefinisian ruang suci/kesucian pada bahasa arsitektur dilakukan dengan peninggian lantai dll.

Terdapat ruang antara di hunian Bali Aga. Ruang antara yang semula hanya ruang kosong, tetapi ketika upacara dimaknai sebagai place dengan penempatan peralatan. Dengan segera ruang tersebut menjadi ruang yang berbeda. Hal ini merupakan bentuk konsep dari place. Masyarakat vernakular menciptakan tempat sebagai struktur dan konstruksi ruang diciptakan.

Kasus Kawasan Trunojoyo Bandung

Kawasan Trunojoyo dekat dengan kawasan perguruan tinggi. Trunojoyo terbentuk secara inkrimental karena pengaruh politik. Ada masa-masa musik barat/gaya hidup barat diharamkan. Ketika Bung Karno melarang pengaruh dari barat. Anak-anak muda kemudian ingin menunjukkan eksistensi diri melalui brand-brand lokal.

Bagaimana transformasi rumah kolonial dengan membagi-bagi ruangnya agar menarik bagi milenial. Satu rumah bisa dibagi menjadi tiga atau empat bagian. Ruang interior diubah sehingga ruang yang didapatkan sempit dan memanjang. Milenials menggunakan mekanismenya sendiri dalam aktivitas yang dilakukan.

Sharing mechanism dan jejaring sosial diterapkan sebagai taktik pembentukan tempat. Semula kawasan ini lebih banyak ke arah fashion, namun sekarang berubah menjadi industri kuliner. Uniknya adalah cara mereka menstransofmrasikan tempat antara kelompok fashion dan kuliner. Kelompok fashion merubah halaman menjadi tempat parkir, dan ketika semakin berkembang dilakukan penambahan teras (perluasan bangunan). Kelompok kuliner lebih mempertahankan rumahnya dan menjadikan halaman menjadi tempat makan. Kelompok kuliner memanfaatkan interface rumah dan ruang publik sebagai tempat usaha.

Desain fasad dipakai untuk menciptakan retorika bangunan. Melalui fasad mereka ingin berteriak dan menyuarakan suaranya. Simbiosis fashion dan kuliner terjadi kemudian menjadi tempat leisure. Kawasan tersebut tidak hanya menjadi tempat transaksi ekonomi, tetapi menjadi tempat nongkrong. Ruang di kompleks perumahan yang semula tidak terlalu bermakna, tetapi kini menjadi tempat yang bermakna. Ada unsur-unsur sejarah yang dimanfaatkan. Hal tersebut memberikan ruang permukiman menjadi tempat yang atraktif.

DISKUSI

Christina Gantini

Relevansi teori barat untuk membaca kasus di Indonesia. Pemahaman function di teori barat menempatkan hanya ada satu fungsi. Memang pura digunakan untuk tempat memuja. Tiba-tiba tempat pura menjadi ragam waktu dan ragam kegiatan yang berbeda. Pagi-pagi pura adalah tempat sakral dan malamnya menjadi profan. Kasus di Trunojoyo menunjukkan aktivtias parkir menjadi tempat makan di area halaman.

Ada namanya use atau guna yang bisa menjelaskan kejadian multifunction. Akibatnya, place-making menjadi cukup bermasalah. Pemahaman dari space menjadi dasar untuk menggunakan place. Konstruksi masyarakat yang mendukung fisik akan mendukung place. Sebetulnya masyarakat sudah memiliki struktur atas tempat. Jadi karena tempat sudah ada di kepala orang di Indonesia, maka pertanyaan mendasar adalah apakah benar kita place-making? Apakah bukan space-making? Bagaimana mendudukkan fenomena ini dalam ranah keilmuah barat? Bagaimana menjawab fenomena di timur? Kalau teori tersebut digunakan, saya rasa kurang bisa menjelaskan fenomena-fenomena yang ada.

M. Prasetiyo Effendi Yasin

Saya melanjutkan Bu Gantini. Kalau melihat place dari kacamata yang menciptakan, nah bagaimana place bagi konsumen? Bagaimana dari sudut pandang turis? Apakah dia tidak boleh merasakan place itu? Bisakah place-making dibuat merdeka? Bagaimana definisi space bisa dipahami oleh orang yang baru datang di suatu tempat?

Donny Koerniawan

Menurut Heidegger dkk, tiga hal paling penting dalam arti suatu kehidupan yang akan membentuk struktur sosial terdiri dari:

  1. Eksternaliasi: masyarakat plural;
  2. Obyeksisasi: objek sendiri;
  3. Internalisasi: individu terhadap masyarakat.

Justru yang menurut saya menarik bagaimana struktur sosial membentuk tiga hal tersebut. Sebetulnya, bagaimana cara berpikir orang milenial atau Bali Aga yang membentuk struktur sosial? Bagi saya, intinya adalah waktu. Kapan sih orang menyebut itu sebagai place atau space? Itu disebutkan oleh Heidegger dkk, sehingga suatu ruangan dengan ketiga proses tadi menjadi place. Tapi waktunya seperti apa, kapan, dan dimana yang sebetulnya membentuk kontruksi sosial? Memang seperti itu atau tidak, mohon pencerahan.

TANGGAPAN

Permasalahannya adalah place-making atau space-making, lalu tentang kapan. Selalu arsitek merasa adalah orang yang paling tahu bagaimana harus menciptakan ruang dan tempat. Dan menyambung pernyataan Pak Pras, yang mau dilayani siapa sih, antara penghuni, turis, pengunjung, pengelola? Kalau di arsitektur tidak pernah dibedakan/dipersoalan. Seolah-olah arsitek yang mempersoalkan. Dari awal sudah dicetak bahwa arsitek sudah tahu semuanya.

Menyambung pernyataan Pak Donny, dengan adanya kekuatan ekonomi pengusaha hanya memanfaatkan situasi saja. Tanpa sadar kita menghadapi kekuatan ekonomi dll. Tidak ada hubungannya dengan desain dan arsitektur. Padahal place tadi konstruksi sosial, yang harus diolah adalah unsur-unsur atau objek-objek yang mempengaruhi ruang. Saya sepakat dengan Pak Prasetiyo bahwa sebaiknya mengikuti konsumen, bukan client.

Ketika sudah diskusi dengan lingkungan sekitar, ya yang terjadi hanya satu arah. Padahal ada masukan dll dari bawah. Jangan-jangan arsiteknya sekarang hanya ikut apa yang menjadi pergunjingan di lingkungan sosial. Seperti fakta sekarang ini dimana survei menggunakan data-data dari internet. Justru persoalan kita harus lebih peka terhadap kedudukannya kepada lingkungan. Jangan-jangan kebutuhan kemampuan arsitek adalah koordinasi daripada mendesain. Kita harus siap distrupsi dalam memperlakukan ruang.

Proyek-proyek yang dilakukan oleh starchitect seperti Zaha Hadit adalah mengkondisikan/mengkonstruksikan masyarakat. Apakah arsitek masih ingin menetapkan nilai-nilai apa yang dianggap baik atau indah. Jadi yang harus didesain, place or space?

Materi presentasi dapat diunduh di sini.