Indah Widiastuti: Arsitektur Matrilineal di Asia
Untuk kali keenam Laboratorium Sejarah, Kajian Teknologi dan Desain – Fakultas Arsitektur dan Desain (FAD) dan Program Studi Magister Arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) telah menggelar bedah karya ilmiah dalam wacana populer yang diselenggarakan pada hari Sabtu, 15 Desember 2018. Kegiatan ini didukung oleh SAN-EI, yang merupakan produsen sanitair berlevel internasional. Kali ini, yang menjadi bahan kajian untuk dibedah adalah disertasi dari Indah Widiastuti, S.T., M.T., Ph.D. – dosen arsitektur Institut Teknologi Bandung – yang berjudul Kajian Kritis Mengenai Arsitektur Masyarakat Matrilineal di Asia; Perbandingan Arsitektur-Permukiman Minangkabau Indonesia dan Kerala India.
Disertasi yang diselesaikan di Anna University Chennai ini dibahas oleh Dr. Johannes Adiyanto, S.T., M.T. – dosen arsitektur Universitas Sriwijaya Palembang dan Dr. Ir. Revianto Budi Santosa, M.Arch. – dosen arsitektur Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Diskusi ini dimoderatori oleh Ir. Mahatmanto, M.T. – dosen arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
Paparan Indah Widiastuti ini merupakan pintu masuk yang membuka cakrawala pemahaman dan pemikiran kita atas rumah. Makna-makna yang berbeda dan lebih mendalam akan diulik dan dipaparkan dalam bedah karya ilmiah dalam wacana populer pada edisi terakhir di tahun 2018 ini. Indah Widiastuti memaparkan bahwa arsitektur dalam tradisi matrilineal memiliki ciri khas yang terwujud di dalam ruang-ruang dan batas-batas ruang yang terjadi. Dalam hal ini, Indah Widiastuti membandingkan antara tradisi matrilineal di Kerala, India dan di Minangkabau, Indonesia. Keduanya menunjukkan bahwa dalam tradisi matrilineal ternyata perempuan memiliki peran yang menentukan dalam mengatur “kehidupan” dan “ruang” di wilayahnya, yang masih berlangsung hingga saat ini, sehingga cukup menarik untuk dikaji.
Johannes Adiyanto dalam pembahasannya menyoroti tentang “The Power of Emak-emak”, bahwa perempuan juga memiliki “logika” dan alur pikir sendiri yang berbeda dengan laki-laki. Jadi, sebetulnya ada “pengetahuan tersembunyi” di sini, mengingat arsitektur dan ruang yang “dikuasai” oleh perempuan memiliki karakteristik yang berbeda dengan arsitektur dan ruang yang dikuasai laki-laki. Dan hal itu layak untuk dibongkar dan dimunculkan, agar kita bisa lebih kritis dalam menyikapi dunia ruang dan arsitektur yang hampir semuanya didominasi laki-laki tanpa ada alternatif dan pembanding.
Sedangkan Revianto Budi Santosa membahas secara menarik dengan mengambil kata-kata kunci kritis dari dalam disertasi itu sendiri. Seperti tentang kekuatan perempuan, manajemen, sustainability, kontrol, rumah dan lain-lain. Dari situ kemudian bisa disimpulkan bagaimana pembandingan itu (antara Kerala, India dan Minangkabau, Indonesia) bisa terjadi secara lebih tepat. Bahwa wanita/perempuan yang “lemah” memiliki kekuatan yang hebat untuk mampu bersifat permeable, bisa menyusup secara halus ke sana-sini, sehingga kelemahannnya kemudian berbalik menjadi “kekuatannya”. Revianto juga menunjukkan bahwa Kerala masih punya potensi untuk dibandingkan juga dengan arsitektur Nusantara yang lain, misalnya Jawa, karena ada beberapa bangunan yang menunjukkan kemiripan dengan Jawa. Dengan demikian, disertasi ini masih punya kemungkinan untuk bisa berkembang lebih jauh lagi dan menjangkau ranah-ranah baru yang sebelumnya belum pernah dikaji secara mendalam. (linda)