Latar Belakang
Pada hari Minggu, 30 Mei 2021 dilaksanakan persidangan sebagai tindak lanjut cuitan akun ceplosan ganesha. Beberapa pertimbangan yang dijadikan dasar antara lain persetujuan lembaga melalui senator tentang penyelesaian masalah dengan mekanisme sidang serta hasil survey Kementrian Dinamisasi Kampus mengenai dampak akun ceplosan ganesha. Dari dua pertimbangan tersebut dilaksanakan selanjutnya disusun mekanisme sidang. Berdasarkan pernyataan Guntur Iqbal (Terdakwa 1) dalam keputusan sidang, mekanisme persidangan terinspirasi dari tata cara dan tata tertib persidangan IKM UI namun tata cara dan tata tertib tersebut hanya mengatur sebagian pelaksanaan bagaimana persidangan perlu dilaksanakan. Akibatnya cukup banyak permasalahan yang muncul dalam persidangan. Seminimalnya permasalahan tersebut bisa dilihat melalui keputusan sidang ceplosan ganesha.
Persidangan ini membentuk suatu preseden yang baru bagi KM ITB bahwa mekanisme penyelesaian masalah tidak hanya melalui forum bebas yang dari tahun ke tahun sudah menjadi tradisi khas KM ITB. Permasalahan seputar KM ITB tidak bisa dipungkiri bahwa sedikit banyak berpengaruh pada kondisi HMK ‘AMISCA’ sendiri. Tradisi pemikiran HMK ‘AMISCA’ ITB tidak terlepas jauh dari tradisi pemikiran KM ITB, serta kedepannya masih terbuka peluang yang sangat besar bagi HMK ‘AMISCA’ ITB untuk dapat berkontribusi aktif pada kemahasiswaan terpusat. Dampak dari adanya persidangan ini serta penilaian dari HMK ‘AMISCA’ ITB masih belum dapat dianalisis sehingga posisi kita saat ini masih buram. Semakin kita memisahkan diri dengan isu ini, maka semakin pula HMK ‘AMISCA’ ITB akan terasing dari keadaan zamannya. Pada akhirnya, perlu diadakan pengkajian dalam rangka melaksanakan upaya pencerdasan ke anggota dan penjagaan partisipasi anggota dalam budaya berpolitik dalam ruang lingkup kemahasiswaan.
Pada kepengurusan ini HMK ‘AMISCA’ ITB dirasa tidak membutuhkan Senator. Alasan yang mendukung keputusan ini yaitu kurang adanya peran Senator yang dirasakan oleh anggota HMK ‘AMISCA’ ITB. Akibat tidak adanya Senator, tidak ada implikasi fungsional bahwa terdapat badan yang berperan membahas permasalahan tersebut. Berdasarkan salah satu motivasi pembentukan Divisi Kajian HMK ‘AMISCA’ ITB, salah satu yang perlu dikaji dalam divisi ini adalah isu-isu kemahasiswaan terpusat yang berpotensi tertinggal akibat tidak adanya Senator.
Pengkajian isu ini sedikit mendapatkan komentar dari salah satu Senator himpunan tetangga pada saat kunjungan HMK ‘AMISCA’ ITB ke himpunan tersebut. Dia mengatakan bahwa pengkajian yang dilakukan oleh Senator jelas akan berbeda dengan yang kami lakukan. Walaupun demikian, kami berpendapat bahwa hak untuk melakukan pengkajian tanpa ada campur tangan pihak tertentu masih ada di tangan kita sehingga berapapun perbedaan kajian ini, tidak akan ada salahnya jika memang ditujukan untuk hal yang baik dan dilaksanakan dengan metode yang sesuai.
Pengkajian diawali dengan dilakukannya pengkajian mengenai sistem hukum. Sistem hukum yang dianut suatu masyarakat akan memberikan dampak yang besar terhadap bagaimana persidangan harus dijalankan. Harapannya, dengan membahas mengenai sistem hukum, dapat dianalisis kecenderungan sistem hukum yang ada di KM ITB dan dapat dijustifikasi azas-azas serta batasannya. Setelah mengkaji mengenai sistem hukum, dilakukan pembahasan mengenai due process of law atau sistem hukum yang adil dan tidak memihak. Pembahasan ini lebih mengerucutkan mengenai bagaimana persidangan seharusnya dilaksanakan dari sudut pandang hukum. Disini dipergunakan Hukum Negara Indonesia sebagai pembanding dalam menjustifikasi keberjalanan sidang. Landasan yang digunakan adalah KUHAP atau UU RI No. 8 Tahun 1981. Selanjutnya dilanjutkan dengan analisis sikap dan dampak masalah ini terhadap anggota HMK ‘AMISCA’ ITB serta diskusi dari para kolaborator kajian. Di akhir dokumen ini kami memberikan rekomendasi dan saran untuk memberikan alternatif solusi sebagai tindak lanjut dalam persidangan yang serupa.
Sistem Hukum
Hukum merupakan suatu sistem peraturan yang mengatur baik individu maupun kelompok dalam cakupan tertentu secara mengikat dan memaksa. Di dunia ini hukum yang digunakan oleh negara-negara yang ada berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang digunakan. Masing-masing sistem hukum memiliki tradisi pemikirannya sendiri. Ada berbagai perbedaan pendapat tentang cara mengklasifikasikan sistem hukum. Menurut Munir Fuady, seorang advokat senior, sistem hukum di dunia digolongkan menjadi 5 yaitu tradisi hukum Eropa Kontinental, tradisi hukum Anglo Saxon, tradisi hukum Sosialis, tradisi hukum Kedaerahan dan tradisi hukum Keagamaan. Menurut Marc Ancel, seorang hakim dan ahli teori hukum asal Perancis, sistem hukum dapat dibagi menjadi Civil Law System, Common Law System, Middle East System, Far East System, dan Socialist Law. Sedangkan menurut Rene David, sistem hukum dapat dibagi menjadi The Romano Germanic Family, The Common Law Family, The Family Socialist Law, danThe Family Religion and Traditional Law. Jika ditarik secara lebih lanjut perbedaan satu sistem hukum dengan sistem hukum lainnya berada pada sumber hukum yang digunakan. Namun pada skala yang lebih praktis banyak sekali penyesuaian yang esensial dan khas dari masing-masing sistem hukum.
Dari berbagai sistem hukum yang ada, mayoritas negara di dunia condong lebih memilih antara dua sistem hukum yaitu Eropa Kontinental dan Anglo Saxon karena keduanya memiliki ide dasar yang lebih divergen dan tidak terbatas pada golongan tertentu saja. Meski demikian pada dasarnya setiap negara memadukan kembali sistem hukum yang ada dengan hukum-hukum yang berlaku di masyarakat seperti hukum adat. Sistem hukum Eropa Kontinental atau Civil Lawmerupakan sistem hukum peninggalan bangsa Romawi dan melewati rangkaian proses sejarah yang panjang terutama di Perancis dan Jerman. Sistem hukum ini dianut oleh negara-negara Eropa seperti Jerman, Perancis, Belanda serta negara bekas jajahannya. Sistem hukum ini menjadikan sumber hukumnya berdasarkan pada kodifikasi civil code/kode sipil. Sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law merupakan sistem hukum yang didasarkan pada kebiasaan, preseden dan judge made law/Yurisprudensi. Sistem ini digunakan oleh Inggris, Amerika serta negara-negara bekas jajahan Inggris.
Pada dasarnya masing-masing sistem hukum dipengaruhi oleh sejarah dan pemikiran masyarakat di dalamnya untuk menyesuaikan kebutuhan. Sistem hukum Anglo Saxon yang berasal dari Inggris pada akhirnya menyebar melalui kolonialisasi Inggris ke Amerika. Di Amerika, sistem hukum Anglo Saxon mengalami berbagai modifikasi sehingga terdapat perbedaan dengan sistem hukum Anglo Saxon di Inggris. Sistem hukum di Amerika memiliki konstitusi tertulis sebagai hukum tertinggi yang mendasari seluruh sistem hukum yang diberlakukan. Setelah adanya konstitusi sebagai hukum tertinggi, keberjalanan hukum ranah yang lebih praktis diatur dalam undang-undang yang tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena adanya undang-undang pada ranah yang lebih praktis maka pengadilan di Amerika mengenal adanya kewenangan judicial review. Pengadilan dapat menyatakan suatu ketentuan yang menilai keabsahan undang-undang terhadap konstitusi. Akibat adanya undang-undang, penerapan doktrin stare decisisyang lebih minim dibandingkan dengan Inggris. Hingga sekarang, Amerika telah mengembangkan sistem kodifikasi hukum untuk pemenuhan kebutuhannya baik pada ranah pusat maupun negara-negara bagian.
Berbeda dengan Amerika, sistem hukum Anglo Saxon di Inggris tidak mengalami perkembangan yang signifikan dari awal penerapannya. Praktek ketatanegaraan dan hukum di Inggris didasarkan atas konvensi. Pada sistem hukum Anglo Saxon Inggris, tidak ditemukan adanya kewenangan judicial review. Sebagai gantinya para parlemen di Inggris memiliki supremasi parlemen, yang berarti bahwa produk hukum tertinggi yang berlaku merupakan apa yang telah ditetapkan oleh parlemen. Pada ranah yang lebih praktis, Inggris menerapkan doktrin stare decisissecara lebih utuh. Kemudian hingga kini perkembangan sistem hukum di Inggris hanya memusatkan perhatian pada kodifikasi-kodifikasi aturan secara tidak tertulis untuk dijadikan preseden dan tertulis sebagai yurisprudensi.
Karakteristik Sistem Hukum
Dalam suatu sistem hukum terdapat beberapa karakteristik yang cenderung mengikat. Karakteristik dari suatu sistem hukum dipengaruhi oleh proses-proses panjang sejarah dan pemikiran-pemikiran yang muncul akibat proses tersebut. Oleh karena itu dalam menetapkan suatu sistem hukum yang akan digunakan, perlu penyepakatan terlebih dahulu landasan filosofis yang akan digunakan sebagai sebagai saran pendefinisian keadilan bagi masyarakat secara bersama-sama. Dalam sistem hukum Eropa Kontinental setidaknya ada tiga karakteristik yaitu adanya sistem kodifikasi, ketidakterikatan hakim pada preseden atau doktrin stare decisis, dan sistem peradilan yang inkuisitorial. Sedangkan pada sistem hukum Anglo Saxon dikenal tiga karakteristik yaitu yurisprudensi sebagai sumber hukum utama, dianutnya doktrinstare decisisdan adanya adversary systemdalam proses peradilan.
Sistem hukum Eropa Kontinental dipengaruhi oleh Imperium Romawi yang wilayah kekuasaannya melintasi Eropa Barat dan Timur hingga sebagian kecil Asia. Wilayah yang luas dan interaksi masyarakat antar daerah menuntut adanya keseragaman hukum yang memayungi kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Pemikiran yang sama juga muncul di Jerman dan Perancis pada abad ke 17 hingga 18. Pemikiran-pemikiran semacam ini menimbulkan munculnya pemikiran baru yaitu adanya tindakan kodifikasi hukum yang hingga kini menjadi salah satu karakteristik sistem hukum Eropa Kontinental.
Pada sistem hukum Eropa Kontinental, dikenal adanya pemisahan kekuasaan yang diilhami oleh peristiwa Revolusi Perancis. Pemisahan kekuasaan dimaksudkan secara khusus untuk wewenang pembuatan undang-undang dengan wewenang peradilan, sistem kasasi dan wewenang eksekutif. Oleh karena tidak dimungkinkannya kekuasaan yang satu bercampur dengan yang lain, maka terbentuklah yurisprudensi. Pada sistem Eropa Kontinental yurisprudensi inilah yang dijadikan suatu dasar hukum yang telah disahkan oleh pembuat undang-undang. Oleh karena itu pada sistem Eropa Kontinental hakim tidak terikat dengan preseden.
Pada sistem Eropa Kontinental juga dikenal adanya sistem Inkuisitorial pada pengadilan. Dalam sistem ini, hakim mempunyai peranan yang lebih besar dalam mengarahkan dan memutuskan perkara. Hakim lebih bersifat aktif dalam menemukan fakta-fakta hukum dan cermat dalam menilai alat bukti. Menurut Friedman, seorang profesor hukum, ahli sejarawan dan ahli hukum Amerika, hakim dalam sistem hukum Eropa Kontinental berusaha untuk mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapinya sejak awal. Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim. Lebih lanjut, Friedman mengatakan bahwa sistem peradilan Eropa Kontinental lebih efisien, lebih tidak berpihak dan lebih adil daripada Anglo Saxon.
Seperti sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Anglo Saxon juga mengenal adanya yurisprudensi. Namun yang membedakan adalah yurisprudensi dalam sistem hukum Anglo Saxon menjadi sumber hukum utama (kecuali Amerika) sedangkan pada Eropa Kontinental dikenal adanya konstitusi. Dua alasan utama sistem Anglo Saxon menganut sistem yurisprudensi sebagai sumber hukum utama yaitu alasan psikologis dan alasan praktis. Alasan psikologis yang dimaksud yaitu setiap orang yang ditugasi untuk menyelesaikan perkara cenderung mencari alasan pembenaran atas putusan yang merujuk pada putusan-putusan sebelumnya daripada alasan pembenaran atas keputusan yang dibuatnya sendiri. Hal ini pulalah yang menjadi alasan adanya sistem hakim dalam sistem hukum Anglo Saxon. Selain itu, alasan praktis dari sistem yurisprudensi adalah diharapkannya adanya putusan yang seragam. Pemikiran yang mendasari alasan ini adalah sifat hukum yang harus memiliki kepastian daripada harus menonjolkan keadilan pada setiap kasus konkrit. Dalam peradilan pada sistem hukum Anglo Saxon, catatan peradilan yang telah dikumpulkan dan diterbitkan menjadi laporan putusan pengadilan menjadi sangat penting dan sudah dilakukan sejak awal perkembangan hukum di Inggris. Laporan tersebut yang akhirnya menjadi dasar putusan oleh hakim-hakim setelahnya. Para penganut sistem hukum Anglo Saxon meyakini bahwa menempatkan undang-undang sebagai acuan utama dalam hukum merupakan suatu perbuatan yang berbahaya karena undang-undang diciptakan secara teoritis yang tidak mungkin berbeda dengan kenyataan dan tidak sinkron dengan kebutuhan. Mereka juga meyakini bahwa undang-undang bisa tidak sesuai dengan keadaan seiring berjalannya waktu sehingga memerlukan interpretasi pengadilan.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, sistem hukum Anglo Saxon terutama Inggris menganut doktrin stare decisis. StareDecisis biasa merupakan doktrin kepatuhan putusan pada preseden-preseden yang ada. Secara substansial doktrin tersebut mengandung makna bahwa hakim terikat untuk mengikuti dan/menerapkan putusan pengadilan terdahulu baik putusan yang dibuat olehnya sendiri maupun oleh pendahulunya dalam kasus serupa. Hakim-hakim pengadilan Inggris juga menerapkan doktrin tersebut untuk otoritas yang bersifat hierarkis, yaitu pengadilan yang lebih rendah harus mengikuti putusan pengadilan yang lebih tinggi untuk kasus serupa. Dari sini dapat dinilai bahwa sistem hukum Eropa Kontinental lebih bersifat tersentralisasi. Namun seiring perkembangan sistem hukum, doktrin stare decisisdapat direduksi untuk kasus serupa dengan melakukan distinguishingatau penyimpangan atau pengecualian pada kasus tertentu. Syarat dari distinguishingsuatu putusan adalah adanya bukti bahwa fakta yang dihadapi berlainan dengan fakta yang terdahulu. Perbedaan dapat diterima dengan adanya perbedaan filosofis atau reasoningyang melandasi putusan. Hal ini berlaku pada sistem hukum di Amerika.
Sistem hukum Anglo Saxon juga mengenal adanya adversary systemyaitu adanya lawyerdari kedua belah pihak yang bersengketa. Kedua belah pihak juga diberikan hak untuk menyusun strategi, mempersiapkan dalil, dan menemukan alat bukti sebanyak-banyaknya. Hal ini terjadi karena pada sistem hukum Anglo Saxon hakim memiliki peranan yang minim dalam peradilan. Hakim tidak bertugas sebagai pencari bukti dan fakta mengenai persidangan namun hanya sebagai pihak yang memoderasi jalannya sidang sambil memberikan penilaian untuk pengambilan keputusan. Oleh sebab peran hakim yang minim, lawyerkedua belah pihak mendapatkan peranan lebih untuk mengontrol peradilan yang sedang berjalan. Peran tersebut berlaku efektif pada proses pemeriksaan silang antara kedua belah pihak.
Persidangan ceplosan ganesha yang dilaksanakan pada 30 Mei 2021 merupakan salah satu upaya penegakan keadilan. Sehingga di dalamnya dan dalam pelaksanaannya juga perlu senantiasa ditegakkan pula suatu keadilan. Kesesuaian yang esensial antara proses berpikir yang melatarbelakangi tiap-tiap sistem hukum di dunia dengan sistem hukum yang yang melandasi persidangan tersebut, menjadi sesuatu yang penting.
Due Procces of Law dalam KUHAP
Dahulu sistem peradilan pidana di Indonesia berlandaskan pada Het Herziene Inladsch Reglement (HIR). Pada HIR diberlakukan asas inkuisitor(Inquisitor) yang berarti menempatkan tersangka sebagai objek pemeriksaan, pada zaman HIR hanya ada satu tujuan dalam pemeriksaan yakni mendapat pengakuan (confession)dari tersangka. Pada tanggal 31 Desember 1981, sistem HIR sudah lagi tidak dipakai karena ada sistem baru yakni UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada sistem ini diterapkan sistem akusatoryang mana menempatkan tersangka sebagai subjek pemeriksaan
Due process of lawdapat diartikan sebagai proses hukum yang adil dan tidak memihak, layak, serta merupakan proses peradilan yang benar, yang telah melalui mekanisme atau prosedur-prosedur yang ada, sehingga dapat diperoleh keadilan substantif. Due process of law sebagai proses hukum yang adil dan tidak memihak, dapat ditemukan dalam model penyelenggaraan pidana yang dikembangkan oleh Herbert L. Packer, yakni due process model. Secara substantif, due process of lawdengan due process model memiliki persamaan yakni sama-sama menjadikan perlindungan serta penegakan hak asasi manusia sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Mengenai due process of lawini, M. Yahya Harahap menyatakan bahwa, esensi dari due process of lawadalah setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan “persyaratan konstitusional” serta harus “mentaati hukum”. Oleh sebab itu, dalam due process of law tidak memperbolehkan adanya pelanggaran terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan hukum yang lain. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa dalam penyelenggaraan peradilan pidana, harus sesuai dengan UU No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagai hukum acara pidana yang meliputi tata cara peradilan pidana, KUHAP harus menjadi pedoman yang mendasari penyelenggaraan peradilan pidana. Dengan berdasarkan due process of law, penyelenggaran peradilan pidana harus sesuai dengan KUHAP, serta melalui berbagai prosedur atau tahapan yang telah diatur dalam KUHAP untuk mencapai keadilan substantif.
UU No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita menganut atau telah mengarah pada due process of lawatau secara substantif mengarah ke due process model. Hal ini dapat terlihat dari terkandungnya prinsip-prinsip due process of lawatau due process model dalam KUHAP sebagai hukum acara pidana dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Indonesia. Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa, secara yuridis KUHAP menganut atau mengarah kepada due process of lawatau due process modelyang memberikan perlindungan, jaminan, serta penegakan Hak Asasi Manusia.
Dalam Pedoman pelaksanaan KUHAP, tujuan hukum acara pidana adalah
- Untuk mencaridan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiiladalah kebenaran yang selengkap-lengkapnyadari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat.
- Untuk mencari siapa pelakunya yang dapat didakwakanmelakukan pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusandari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukandan menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukandan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
- Setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan segala upaya hukum telah dilakukan dan akhirnya putusan telah mempunyai kekuatan-kekuatan hukum tetapmaka hukum acara pidana mengatur pula pokok acara pelaksanaan dan pengawasandari putusan tersebut.
Selain dalam pedoman pelaksana KUHAP, landasan atau garis-garis tujuan yang hendak dicapai KUHAP termaktub dalam konsiderans huruf C KUHAP, yaitu supaya masyarakat menghayati hak dan kewajibannya, dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukumsesuai dengan fungsi dan wewenangmasing-masing menuju tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Yahya Harahap (1993) mengemukakan penjelasan terkait landasan tujuan KUHAP yang didasarkan konsiderans huruf C KUHAP sebagai berikut;
- Peningkatan kesadaran hukum masyarakat, artinya menjadikan setiap anggota masyarakat mengetahui apa hak yang diberikan hukum dan undang-undang kepadanya serta apa pula kewajiban yang dibebankan hukum kepada dirinya.
- Meningkatkan sikap mental aparat penegak hukum, yaitu:
a. meningkatkan pembinaan ketertiban aparat penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing.
b. peningkatan kecerdasan & keterampilan teknis para aparat penegak hukum.
c. pejabat penegak hukum yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta bermoral perikemanusiaan yang adil dan beradab.
- Tegaknya hukum dan keadilan di tengah tengah kehidupan masyarakat bangsa, yaitu:
a. menegakkan hukum yang berlandaskan sumber Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala hukum dan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan sumber hukum dan nilai-nilai kesadaran yang hidup dalam masyarakat.
b. menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 serta segala nilai nilai yang terdapat pada hukum dan perundang-undangan yang lain, yang nilainya aspiratif dengan nilai dan rasa keadilan masyarakat.
c. agar tidak bergeser dari KUHAP yang telah ditentukan sebagai pedoman tata cara pelaksanaan dan asas-asas prinsip hukumnya.
- Melindungi harkat dan martabat manusia, artinya manusia sebagai hamba Tuhan dan sebagai makhluk yang sama derajatnya dengan manusia lain, harus ditempatkan pada keluhuran harkat dan martabatnya.
- Menegakkan ketertiban dan kepastian hukum, maksudnya arti dan tujuan kehidupan masyarakat ialah mencari dan mewujudkan ketenteraman atau ketertiban yaitu kehidupan bersama antara sesama anggota masyarakat yang dituntut dan dibina dalam ikatan yang teratur dan layak, sehingga lalu lintas tata pergaulan masyarakat yang bersangkutan berjalan dengan tertib dan lancar.
Menurut R. Soesilo (1982), rumusan tujuan hukum acara pidana adalah, “Pada hakikatnya memang mencari kebenaran. Para Penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai kepada hakim dalam menyidik, menuntut dan mengadili perkara senantiasa harus berdasar kebenaran, harus berdasarkan hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi (hlm. 19).” Dikemukakan juga bahwa, “Dalam mencari kebenaran ini, hukum acara pidana menggunakan bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti kriminalistik, daktiloskopi, ilmu dokter kehakiman, fotografi dan lain sebagainya, agar jangan sampai terdapat kekeliruan kekeliruan dalam memidana orang.”
Sedangkan menurut Andi Hamzah (1983), tujuan hukum acara pidana adalah, “Mencari dan menemukan kebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan antara, artinya ada tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal ini, mencapai suatu masyarakat yang tertib, tenteram, damai, adil dan sejahtera(tata tentram kerta raharja) (Hlm.19).”
Adapun asas-asas hukum acara pidana sebagaiman termuat dalam KUHAP, yakni;
- Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 2 ayat (1), UU No. 48 Tahun 2009).
- Asas persamaan di depan hukum (equality before the law), dimana setiap orang diperlakukan sama dengan tidak memperbedakan tingkat sosial, golongan, agama, warna kulit, kaya, miskin, dan lain-lainnya di muka hukum, atau pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
- Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 6 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
- Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya (Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009).
- Asas perintah tertulis dari yang berwenang: segala tindakan mengenai penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang oleh undang-undang (Pasal 7 UU No. 48 Tahun 2009).
- Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence): setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
- Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan dan salah tuntut, mengadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya (error in persona) atau hukum yang diterapkannya berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 9 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
- Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan atau lazim disebut contante justitie(Pasal 2 ayat (4) jo Pasal 4 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009).
- Asas memperoleh bantuan hukum seluas luasnya, artinya bahwa setiap orang wajib diberikan kesempatan untuk memperoleh bantuan hukum pada tiap tingkatan pemeriksaan guna kepentingan pembelaan (Pasal 56 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
- Asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan, serta hak-haknya termasuk hak menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum.
- Asas hadirnya terdakwa, artinya pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa (Pasal 12 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
- Asas pemeriksaan terbuka untuk umum, artinya pengadilan dalam pemeriksaan perkara terbuka untuk umum. Jadi, setiap orang diperbolehkan hadir dan mendegarkan pemeriksaan di persidangan (Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
- Asas pembacaan putusan, yaitu semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 13 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009).
- Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan, artinya langsung kepada terdakwa dan tidak secara tertulis antara hakim dan terdakwa (Pasal 154 KUHAP dan seterusnya).
- Asas putusan harus disertai alasan-alasan, artinya segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
- Asas pengadilan wajib memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, artinya pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
- Asas pengawasan pelaksanaan putusan, artinya dalam menjalankan putusan pidana, Ketua Pengadilan Negeri wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap Pasal 55 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
Menurut Mardjono Reksodiputro, asas-asas hukum yang adil (Due Process of Law) yang ada dalam KUHP adalah;
- Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun;
- Praduga tak bersalah;
- Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
- Hak untuk mendapat bantuan hukum;
- Hak kehadiran terdakwa di hadapan pengadilan;
- Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat, dan sederhana; dan
- Peradilan yang terbuka untuk umum.
Serta asas-asas khusus :
- Pelanggaran hak-hak individu (penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis).
- Hak seorang tersangka untuk diberitahu persangkaan dan pendakwaan terhadapnya; dan
- Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya.
Kontekstualisasi di KM ITB
KM ITB tidak berdiri tanpa alasan yang kuat. Dalam proses pembentukannya yang panjang, diakomodasi pula falsafah dasar keberadaan organisasi kemahasiswaan untuk melandasinya. Falsafah dasar keberadaan KM ITB sangat erat kaitannya dengan konsep posisi, potensi dan peran mahasiswa, khususnya pada bagian peran. Posisi mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat dan masyarakat akademis menimbulkan konsekuensi berupa potensi yaitu sebagai bagian dari masyarakat mahasiswa merupakan pemuda yang dapat berdampak besar bagi masa depan bangsanya dan sebagai masyarakat akademik mahasiswa memiliki potensi berupa akses pada fasilitas kampus, relasi dan jaringan serta ilmu pengetahuan. Pada akhirnya munculah peran mahasiswa. Peran mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat adalah melakukan kontrol sosial yang dengan idealismenya dapat menjadi penyeimbang dalam menata kehidupan masyarakatdan mengembangkan masyarakat agar dapat mengoptimalkan potensi dan merespon masalah yang berkembang di masyarakat. Sedangkan peran mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat akademis adalah meregenerasi bangsa sebagai insan terdidik yang dapat melanjutkan roda keberjalanan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat dan menerapkan riset yang mengoptimalkan potensinya untuk mengembangkan keilmuan dan sebagai sumberdaya pendukung sebagai solusi permasalahan.
KM ITB dengan salah satu perannya sebagai pelaku kontrol sosial menjadi pihak yang seringkali mengkritik pemerintah terkait sistem dan proses hukum di Indonesia. Sehingga atas nama baik KM ITB, KM ITB sendiri memiliki kewajiban moral untuk menjunjung tinggi keadilan, tidak hanya di luar kampus namun juga di dalam kampus khususnya pada lingkungan kemahasiswaan. Oleh karenanya akomodasi sistem hukum yang memadai dan berkeadilan dalam lingkungan kemahasiswaan harus diwujudkan.
Untuk menjustifikasi keadilan pada proses hukum di lingkungan kemahasiswaan kami memfokuskan pembahasan mengenai due process of lawatau proses hukum yang adil. Asas-asas yang dibawakan merupakan asas-asas yang terdapat dalam UU RI No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut dengan KUHAP. Pemilihan KUHAP menjadi dasar bukan tanpa tujuan melainkan agar perkembangan proses hukum yang berlangsung dalam lingkungan kemahasiswaan KM ITB tidak memisahkan dan mengasingkan diri dari perkembangan proses hukum yang ada di Indonesia karena kontrol sosial yang dilakukan KM ITB menitikberatkan pada masa depan bangsa Indonesia itu sendiri.
Diskusi dan Pendapat Massa HMK ‘AMISCA’ ITB
Dari tanggal 21 Juni 2021 telah ditarik pendapat massa HMK ‘AMISCA’ ITB terhadap persidangan ini melalui kuesioner yaitu bit.ly/SurveiCeplosanGanesha. Penarikan pendapat ini ditarik sampai tanggal 23 Juni 2021 dan didapatkan sebanyak 8 responden yang merupakan 2,76% dari keseluruhan massa HMK ‘AMISCA’ ITB. Dari 8 responden tersebut terdapat 2 responden yang sekaligus merupakan tim pengkaji. Respon dari kuesioner tersebut kemudian didiskusikan lagi oleh tim pengkaji untuk dapat menghasilkan analisis dan interpretasi dari pendapat massa yang diberikan. Mengingat pendapat massa HMK ‘AMISCA’ ITB yang didapatkan hanya sedikit maka analisis ini tidak dapat disimpulkan sebagai pendapat dari seluruh massa HMK ‘AMISCA’ ITB. Namun merupakan fokus pada pendapat dari massa HMK ‘AMISCA’ ITB yang tertarik dalam isu persidangan ini.
Topik pertama yang ditanyakan adalah mengenai pandangan massa HMK ‘AMISCA’ ITB terhadap sidang ceplosan ganesha secara umum. Pernyataan yang pertama dan kedua adalah tentang pengetahuan adanya akun Ceplosan Ganesha dan perbuatan pihak tergugat. Untuk pengetahuan terhadap akun Ceplosan Ganesha sebanyak 7 responden mengatakan tahu dan 1 responden mengatakan tidak tahu. Untuk pengetahuan terhadap perbuatan pihak tergugat sebanyak 5 responden mengatakan tahu dan 3 responden mengatakan tidak tahu. Dapat disimpulkan bahwa responden secara umum mengetahui tentang ceplosan ganesha dan perbuatan yang dilakukan oleh tergugat. Pertanyaan ketiga adalah mengenai kesadaran terhadap mengetahui pentingnya sidang Ceplosan Ganesha. Sebanyak 7 dari 8 responden mengakui bahwa pengetahuan terhadap adanya sidang adalah penting. Terdapat indikasi bahwa responden sadar terhadap pentingnya mengetahui dinamika terhadap dinamika kemahasiswaan KM ITB, walaupun tidak detail.
Pertanyaan keempat adalah mengenai persetujuan terhadap keberadaan persidangan dalam lingkup KM ITB. Sebanyak 5 responden menganggap bahwa pelanggaran oleh tergugat layak diadili melalui persidangan. Terdapat responden yang menyarankan mekanisme forbas apabila persidangan tidak bisa dilakukan dengan baik. Dari disini terdapat indikasi persidangan yang sudah dilaksanakan terhadap akun Ceplosan Ganesha tidak bisa dilakukan dengan baik. Didukung juga oleh responden yang tidak setuju terhadap diadakannya persidangan jika tidak dibentuk dan disusun dengan fondasi hukum yang baik. Responden lain juga mengatakan bahwa dengan ketidaksempurnaan dari persidangan tersebut menyebabkan massa kampus terdinamisasi dan termasuk kedalam tujuan awal dari akun Ceplosan Ganesha ingin dibentuk. Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai pandangan massa terhadap persidangan jika menjadi tergugat. Sebanyak 5 responden mengatakan bahwa akan disiplin terhadap peraturan jika memang bersalah. Sebanyak 1 responden tidak ingin mengandaikan menjadi tergugat kemudian sebanyak 2 responden mengatakan bahwa keadilan dalam proses persidangan juga tidak kalah penting dan sebaik – baiknya persidangan tetap perlu mengakomodasi hak – hak dari setiap peran dalam persidangan.
Pertanyaan keenam adalah mengenai pandangan massa terhadap adanya perlindungan hukum dalam persidangan jika menjadi korban. Sebanyak 6 responden mengatakan setuju terhadap perlindungan hukum dengan dasar untuk menjadikan perlindungan tersebut sebagai pencegahan terhadap dampak negatif dari perlakuan pelanggar. Dampak negatif tersebut dapat berupa pencemaran nama baik korban dan tindak kejahatan lainnya yang dapat terjadi karena tidak ada keadilan. Pertanyaan ketujuh adalah mengenai proses keberlangsungan persidangan. Sebanyak 3 responden mengatakan proses keberlangsungannya baik dan tidak mencantumkan alasan. Sebanyak 1 responden tidak berpendapat karena tidak mengetahui persidangan yang baik seperti apa. Sebanyak 2 responden belum menyaksikan proses persidangan. Selain itu, sebanyak 2 responden mengatakan tidak setuju karena terdapat kecacatan terhadap proses hukum.
Pertanyaan kedelapan adalah mengenai pendapat terhadap perbaikan yang dapat dilakukan pada persidangan. Sebanyak 4 responden mengatakan tidak tahu tanpa alasan. Sebanyak 2 responden mengatakan tidak tahu karena tidak terlalu mengikuti sidangnya dan tidak tahu apa yang harus diperbaiki. Sebanyak 2 responden merasa perlu ada perbaikan dan responden ini merupakan bagian dari tim pengkaji. Indikasi yang mungkin adalah responden mengetahui adanya persidangan tetapi tidak mengetahui keberjalanan sidang secara detail. Pertanyaan kesembilan adalah mengenai komentar terhadap jalannya persidangan akun Ceplosan Ganesha. Sebanyak 3 responden tidak ada komentar karena tidak terlalu memperhatikan persidangan. Sebanyak 3 responden merasa persidangan sudah bagus. Sebanyak 2 responden yang merupakan tim pengkaji merasakan adanya ketidakadilan. Indikasi yang dapat disimpulkan mirip seperti pertanyaan kedelapan. Dari topik pertama ini secara keseluruhan bisa disimpulkan responden masih belum mengetahui secara mendalam tentang persidangannya.
Topik yang kedua adalah untuk menelusuri potensi dampak persidangan terhadap penyelesaian masalah di HMK ‘AMISCA’ ITB. Persidangan yang dilakukan oleh KM ITB sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan masalah menjadi refleksi tersendiri oleh HMK ‘AMISCA’ ITB. HMK ‘AMISCA’ ITB sebagai salah satu HMJ yang berada di naungan lingkungan KM ITB juga memiliki beberapa peraturan yang tercantum dalam AD/ART HMK ‘AMISCA’ ITB. Secara idealnya, HMK ‘AMISCA’ ITB juga perlu menegakkan tindakan berdasarkan peraturan yang ada jika dilanggar. Dalam topik ini akan banyak dibahas keterkaitan keberjalanan persidangan Ceplosan Ganesha dengan realita yang ada di HMK ‘AMISCA’ ITB.
Pertanyaan pertama mengenai potensi terjadinya masalah seperti permasalahan akun Ceplosan Ganesha di HMK ‘AMISCA’ ITB. Sebanyak 5 responden mengatakan dapat terjadi hal serupa, sebanyak 2 responden mengatakan tidak dapat terjadi dan sebanyak 1 responden mengatakan mungkin terjadi. Responden paling banyak mengatakan dapat terjadi dan hanya sedikit yang masih merasa ragu. Jawaban yang diberikan oleh responden sudah dapat menggambarkan keadaan HMK ‘AMISCA’ ITB yang dapat mengakibatkan munculnya permasalahan serupa. Pertanyaan kedua mengenai keperluan penegakan hukum dalam lingkungan kemahasiswaan KM ITB. sebanyak 7 responden mengatakan perlu untuk ditegakkan dan hanya 1 responden yang mengatakan tidak perlu. Pernyataan tidak perlu penegakkan dapat dikarenakan oleh kebiasaan dalam penyelesaian masalah yang terkadang melalui cara kekeluargaan. Pertanyaan ketiga adalah mengenai pihak yang dapat berwenang untuk menegakkan peraturan dalam ranah KM ITB. Sebanyak 4 responden mengatakan tidak bisa berpendapat, sebanyak 2 responden mengatakan anggota biasa KM ITB dalam forum bebas, sebanyak 1 responden mengatakan kabinet tanpa spesifik jabatan dan sebanyak 1 responden mengatakan petinggi KM ITB.
Pertanyaan keempat adalah mengenai kesesuaian sidang akun Ceplosan Ganesha dengan asas keadilan. Sebanyak 5 responden mengatakan sudah sesuai dan sebanyak 3 responden mengatakan tidak sesuai. Responden yang menganggap sesuai dengan asas keadilan kemungkinan karena perlindungan hukum kepada korban yang sudah dilaksanakan. Oleh karena itu, dapat diindikasikan bahwa responden belum mengetahui poin – poin ketidakadilan dari persidangan. Pertanyaan kelima adalah mengenai keterkaitan perlindungan hukum dalam KM ITB dan dampaknya kepada massa. Sebanyak 2 responden mengatakan tidak ada dampaknya, sebanyak 2 responden tidak dapat berpendapat, sebanyak 2 responden mengatakan bahwa jadi semakin tau dan mengerti mengapa KM ITB dapat dikatakan sudah tidak ideal, sebanyak 1 responden mengatakan jadi merasa lebih aman karena perlindungan hukum dan sebanyak 1 responden lainnya mengatakan jadi terbuka wawasannya tentang kemahasiswaan. Dari jawaban yang diberikan, responden tidak membicarakan dampak dari ketidakadilan persidangan melainkan dampak dari adanya persidangan. Dalam lingkungan HMK ‘AMISCA’ ITB sendiri, untuk penegakkan hukum biasanya dilakukan dengan kekeluargaan dan tidak melalui persidangan. Oleh karena itu, adanya persidangan yang dilakukan oleh KM ITB seharusnya akan berdampak pada cara HMK ‘AMISCA’ ITB dalam menyelesaikan masalah.
Untuk pertanyaan keenam, jawaban yang diberikan responden berganti dan cenderung tidak konsisten. Pertanyaan ini adalah mengenai keberadaan persidangan secara HMK ‘AMISCA’ ITB dalam menyelesaikan masalah. Pada jawaban pertama mayoritas responden mengatakan perlu dan pada jawaban kedua sebanyak 4 responden mengatakan perlu dan sebanyak 4 responden lainnya mengatakan tidak perlu. Pertanyaan ketujuh adalah mengenai pembentukan regulasi pendefinisian dari pelanggaran dalam lingkup kemahasiswaan termasuk HMK ‘AMISCA’ ITB. Sebanyak 5 responden mengatakan perlu dan sebanyak 3 responden mengatakan tidak perlu. Mayoritas responden sudah mengatakan perlu dilakukan pendefinisian dalam hal penegakkan sehingga ketidakadilan dalam tuduhan dapat diredam. Pengadaan regulasi terhadap sudah dilakukan oleh HMK ‘AMISCA’ ITB melalui Pemilu Raya HMK ‘AMISCA’ ITB yang memiliki peraturan dan batasan pelanggaran yang jelas sehingga penegakkan peraturan juga dapat dilakukan. Keterkaitan yang sangat besar dari kodifikasi hukum yang sudah dibuat tim panitia PEMIRA dengan keberjalanan PEMIRA dapat mengidentifikasi bahwa kecenderungan sistem hukum yang dilakukan di HMK ‘AMISCA’ ITB merupakan sistem Eropa Kontinental atau civil law.
Pertanyaan kedelapan adalah mengenai keadaan budaya legalitas hukum dalam lingkup kemahasiswaan KM ITB termasuk HMK ‘AMISCA’ ITB. Sebanyak 4 responden mengatakan sudah baik dan sebanyak 4 responden lainnya mengatakan belum baik. Jika dikaitkan dengan pertanyaan ketujuh, sebetulnya responden mengatakan perlu adanya legalitas tetapi ternyata pada kenyataannya budaya tersebut masih belum baik. Pertanyaan terakhir adalah mengenai upaya yang dapat dilakukan dalam lingkungan HMK ‘AMISCA’ ITB terhadap penyelesaian masalah. Sebanyak 4 responden mengatakan sebaiknya melalui jalur bicara baik – baik, personal, kekeluargaan dan tidak melibatkan lebih banyak orang terlebih dahulu. Sebanyak 1 responden mengatakan perlu sangat dipikirkan caranya baik itu melalui jalur baik-baik ataupun persidangan. Sebanyak 1 responden mengatakan tidak perlu melanggar peraturan dan adem ayem saja, sebanyak 1 responden mengatakan bisa dilakukan pernyataan sikap dan 1 responden lainnya tidak berpendapat. Pada keseluruhan topik yang kedua ini, responden mengatakan bahwa dalam HMK ‘AMISCA’ ITB kasus pelanggaran hukum dapat terjadi, penegakkan hukum yang adil itu perlu karena dapat berdampak baik tetapi cara penyelesaian masalah dapat melalui kekeluargaan terlebih dahulu sebelum peradilan.
Penyelesaian masalah yang dilakukan di HMK ‘AMISCA’ ITB lewat kekeluargaan sebetulnya juga memiliki dampak. Penyelesaian masalah lewat cara tersebut tidak memiliki parameter akhir yang dapat mengindikasikan penyelesaian masalah. Kasus yang sering terjadi adalah sebetulnya penyelesaian masalah tersebut tidak pernah benar-benar selesai melainkan hanya terlupakan dan tergantikan bahasannya dengan topik lain. Alih – alih kekeluargaan ini terkadang hanya merupakan ketidakinginan untuk bertanggung jawab lebih lanjut terhadap konsekuensi yang dapat terjadi. Dalam penyelesaian masalah, sebaiknya perlu dilihat baik itu dari sisi korban, dari sisi pelaku, kesiapan/kompetensi dari pelaku penegak peraturan serta dampak terhadap lingkungan sekitar. Dampak dalam waktu dekat dan dampak dalam jangka yang panjang.
Saran Dalam Penyelesaian Permasalahan
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa kajian ini ditujukan untuk mencerdaskan anggota dan memantik serta menjaga partisipasi politik anggota HMK ‘AMISCA’ ITB. Tidak ada konklusi spesifik dari kajian ini, tetapi darinya diharapkan dapat tumbuh solusi-solusi baru bagi permasalahan keadilan. Namun seminimal-minimalnya kami sebagai tim pengkaji sudah mencatat tiga solusi yang dapat ditawarkan yaitu penyelesaian masalah melalui cara kekeluargaan, forum bebas dan pembentukan budaya legalitas hukum.
- Penyelesaian Masalah Secara Kekeluargaan.
Penyelesaian masalah secara kekeluargaan kami maknai sebagai suatu proses mediasi antara dua belah pihak hingga mencapai suatu kesepakatan yang adil dan tidak merugikan satu sama lain. Berdasarkan kajian kami, cara ini memiliki pendekatan yang efektif dan tidak berbelit-belit. Cara ini tidak dapat dijelaskan secara detail bagaimana mekanismenya namun pembentukan mekanisme itu sendiri merupakan salah satu upaya mencapai keadilan yang harus dihargai dan dijunjung tinggi. Dalam ruang lingkup kemahasiswaan, khususnya dalam ranah KM ITB yang pembagian peran organisasi di dalamnya cukup luas, penyelesaian masalah secara kekeluargaan dapat dilakukan oleh masing-masing lembaga atau antar lembaga yang bersangkutan tergantung pada individu dan/atau kelompok yang terlibat. Peran sebagai mediator akan lebih etis jika berada di tangan para stakeholderyang terpercaya pada ranah terjadinya permasalahan tersebut.
Jika keadilan disandarkan pada cara ini, stakeholderdari masing-masing lembaga memiliki kewajiban moral untuk menegakkan keadilan sehingga usaha-usaha penegakan keadilan sepenuhnya diandalkan pada kebijaksanaan stakeholder. Satu hal yang menjadi catatan dalam cara ini yaitu penyelesaian masalah secara kekeluargaan bukan berarti melupakan adanya masalah dengan dalih kekeluargaan. Keduanya adalah hal yang berbeda. Penyelesaian masalah secara kekeluargaan memiliki harapan yang jelas akan adanya keadilan sedangkan melupakan masalah dengan dalih kekeluargaan merupakan kebungkaman atas ketidakadilan.
2. Forum Bebas
Forum bebas dalam penyelesaian sebuah masalah bukan menjadi hal yang baru bagi KM ITB terutama bagi atmosfer kemahasiswaan terpusat. Forum bebas merupakan pilar terakhir penyelesaian masalah yang terjadi dari tahun ke tahun. Dalam forum bebas, lembaga diundang untuk mengirimkan perwakilan. Berdasarkan yang kami ketahui perwakilan lembaga ini bukan hanya perwakilan lembaga yang ada secara legal, namun lembaga yang bersifat kelompok dengan basis massa yang masif pula seperti fakultas-fakultas TPB. Selain lembaga yang diundang dengan formal, setiap anggota biasa KM ITB dapat ikut andil dalam forum dan beradu argumen di dalamnya. Kedaulatan massa sangat direpresentasikan dalam forum bebas tersebut.
Prinsip-prinsip dalam forum bebas tidaklah begitu jelas, konsumsi waktu yang dibutuhkan juga sangat tidak terprediksi. Keduanya menyebabkan efektivitas forum bebas dirasa masih sangat kurang. Ditambah lagi dengan adanya beberapa pembahasan yang melenceng dari alur utama permasalahan. Setiap agenda dengan setiap kepentingan dapat saja dengan mudah dilontarkan dalam forum bebas. Namun dibalik itu, ada suatu kelebihan lain yang ditawarkan melalui mekanisme ini.
Forum bebas yang mempertemukan dua pihak dengan pendirian yang berbeda cenderung memiliki keberimbangan secara natural. Hal ini secara pasti menjamin hak-hak dari setiap pihak yang terlibat. Dimana diadakan forum bebas, tanpa ada aturan yang baku, setiap pihak yang terlibat pasti akan mengkonsolidasi massa dengan pemikirannya. Konsolidasi massa ini pada akhirnya menjadi proses yang natural dalam mengupas masalah yang terjadi. Seseorang yang jelas bersalah tidak akan memiliki pendukung yang kuat kecuali untuk membela yang bersangkutan dari kekerasan khususnya secara mental. Justifikasi yang dirasa etis mengalir begitu saja pada setiap audiens seiring berjalannya forum. Massa yang dirasa netral dapat dengan cepat menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi sehingga keterbukaan antar partisipan forum lebih terasa. Keputusan akhir forum bebas biasanya tampak paling bijaksana dan dapat diterima meskipun proses yang dilalui penuh tekanan.
3. Pembentukan Budaya Legalitas Hukum
Maksud budaya legalitas hukum dalam pengkajian kami adalah adanya asas legalitas. Asas legalitas memiliki arti bahwa segala perbuatan yang dilarang serta batas-batasnya ditentukan dengan tepat dan jelas dalam hukum sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Cara ini menjadi salah satu opsi yang cukup baik. Sebagai informasi, UI menggunakan legalitas sebagai asas penyelenggaraan organisasi kemahasiswaannya. Proses penyelesaian masalah secara legal dianggap sebagai upaya penegakan keadilan tertinggi dimana batas-batas suatu perbuatan dapat dijustifikasi secara jelas. Proses penyelesaian masalah secara legal menuntut adanya landasan hukum yang kuat, komprehensif, dan adil yang mengatur bagaimana masalah seharusnya diselesaikan.
Dalam persidangan ceplosan ganesha, cara ini telah diterapkan meskipun dengan kondisi yang seadanya. Pertimbangan persidangan sebagai opsi terpilih dibanding dengan forbas yaitu karena dikehendaki suatu forum yang lebih terstruktur. Pertimbangan ini seolah menutup mata pada kelebihan yang dibawa oleh forbas secara natural dan menilik ke satu titik kelemahan forbas. Dibalik itu semua, ada beberapa hal yang belum dapat dipenuhi oleh persidangan lalu sehingga arah yang dituju masih jauh dari kata adil. Selanjutnya persidangan berakhir tanpa kesimpulan yang esensial bagi seluruh pihak yang terlibat.
Lebih jauh lagi jika dikehendaki penyelesaian masalah dengan cara ini, lebih baik ada suatu fokus khusus dan pengkajian yang mendalam sehingga dapat dihasilkan produk hukum yang mengatur dengan jelas batas-batas perbuatan yang diharuskan dan dilarang dalam penyelenggaraan persidangan. Menurut salah satu anggota kongres, cara ini dianggap tidak dapat dijalankan karena tidak ada jurusan hukum di ITB. Walaupun jika ada mahasiswa yang bisa menjalankannya itu terdengar high effort low impact.
Argumen tersebut nampak benar, namun kita dapat meninjau lebih jauh lagi. Kalimat high effort low impactterasa seperti lebih pada suatu aksi yang berfokus pada perubahan. Perubahan mana yang dirasa menjadi cukup optimal dapat ditentukan dengan tolok ukur ini. Namun keadilan memiliki satu tolok ukur yang tidak dapat diganggu gugat yaitu adil. Oleh karena itu, kami memiliki rekomendasi lain.
Mempertimbangan mekanisme persidangan menjadi salah satu preseden penyelesaian masalah dalam ruang lingkup kemahasiswaan KM ITB sehingga besar kemungkinan cara ini akan kembali dipilih suatu hari nanti, kami menyarankan agar dibentuk sejenis KUHAP atau suatu produk hukum yang mengatur tata cara persidangan yang tidak bersifat temporal. Pengaturan tata cara persidangan ini kami sarankan memenuhi prinsip due process of lawyang telah kami bahas sebelumnya meskipun due process of lawbagi masing-masing sistem hukum akan berbeda satu sama lainnya.
‘The wisdom of a law-maker consisteth not only in a platform of justice,
but in the application thereof; taking into consideration
by what means laws may be made certain”
–Sir Francis Bacon, 2 hari lalu
Lampiran